Andaikan
saja Edison tidak mau menyumbangkan ilmunya dalam penemuan lampu, dunia
akan gelap gulita. Andai saja Newton tidak mau ambil pusing menyelidiki
teori gravitasi, mungkin kita masih mengira apel jatuh dari pohon
adalah pengaruh sihir bumi.
Selama ini orang
awam menilai gerakan mencegah pemanasan global sekedar penanaman pohon,
atau menyerahkan masalah itu pada orang yang berwenang seperti LSM yang
menngani masalah Lingkungan atau Pemerintah. Padahal pemanasan global
bukan masalah wewenang, melainkan tanggung jawab bersama. Dari
anak-anak hingga dewasa semua punya tanggung jawab sama besar. Kita
sebagai remaja/anak-anak bertanggung jawab meneruskannya, dan orang
dewasa bertanggung jawab menjaganya.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai remaja untuk
melaksanakan tanggung jawab itu? Lihatlah masalah ini dari tempat yang
selalu kita kunjungi setiap hari, yaitu sekolah. Kegiatan-kegiatan di
sekolah sebenarnya turut mendukung parahnya pemanasan global. Sekarang,
coba hitung berapa kertas yang dipakai ketika ulangan. Kertas yang
digunakan sebagai lembar jawaban, dan kertas untuk soal yang bisa
berlembar-lembar. Jumlahnya bisa mencapai ratusan dalam sehari, apalagi
ketika pekan ulangan semester. Penggunaan kertas untuk murid sekolah
yang jumlahnya ratusan, 5 hari dalam seminggu, bisa digunakan untuk
menutupi lapangan satu sekolah. Lalu kemana kertas-kertas itu pergi
setelah digunakan? Tentunya kian menambah tinggi tumpukan gunung sampah
di TPA.
Penulis turut prihatin dengan
penghambur-hamburan kertas tiap tahunnya di seluruh nusantara, yaitu
ketika Ujian Nasional berlangsung. Sampah kertas yang dihasilkan ribuan
kali lipat lebih banyak daripada kertas yang digunakan untuk ujian
semester di satu sekolah. Berapa pohon yang ditebang untuk
kertas-kertas tersebut?
Tidak
hanya di kelas, kantin sekolah pun turut menyumbang efek pemanasan
global. Pengamatan penulis di sekolah melihat makanan siap saji yang
masih menggunakan pembungkus styrofoam, serta pemakaian sumpit untuk
makan mie. Styrofoam selain tidak dapat didaur ulang, juga berbahaya
bagi kesehatan.
Dampak
residu stereofoam dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC) yaitu
gangguan pada sistem endokrin dan reproduksi pada manusia karena bahan
karsinogenik. Butuh waktu 1.000 tahun sampai styrofoam terurai secara
alami. Seperti yang diterangkan Ir. Bibong Wwidyarti di kompas.com
(9/3/08) kalaupun styrofoam dihancurkan, itu membutuhkan teknologi
tinggi dan mahal dan menghasilkan gas yang beracun. Selain itu sumpit
terbuat dari kayu yang tentu saja mengorbankan pepohonan dalam
pembuatannya.
Mulai Gerakan Hijau di Sekolah
Kita
bisa memulai gerakan hijau dari hal mudah dan sederhana. Misalnya
mengusulkan kepada sekolah agar kertas-kertas ulangan yang terbuang
didaur ulang lagi untuk kertas soal ulangan selanjutnya. Membentuk
gerakan dengan teman-teman sekelas dengan memilah sampah-sampah kertas
di sekolah lalu mengolahnya kembali. Kertas itu dapat kita jual dengan
harga murah ke koperasi sekolah. Pastinya sekolah kita tidak keberatan
dengan hal ini. Selain menunjukkan sikap kritis pada lingkungan, kita
turut memudahkan sekolah dalam penyediaan kertas yang lebih murah. Jadi
tidak memerlukan kertas baru lagi untuk mencetak soal-soal ulangan.
Kebiasaan
lain yang harus diterapkan adalah membiasakan diri untuk tidak
memfotokopi catatan. Di kelas si penulis, teman-teman tidak pernah mau
repot mencatat setiap kali guru memberikan kertas catatan, mereka
menuntut agar salah satu siswa pergi ke tempat fotokopi untuk
memperbanyak catatan bagi setiap siswa. Sekali lagi, perilaku yang
menghamburkan kertas! Jika ditegur agar tidak senantiasa memfotokopi,
mereka menggunakan dalih “Cape, pegel, nulis melulu!”. Kemalasan itu
akhirnya membuahkan masalah bagi penebangan pohon yang tidak
terkendali.
WALHI
memperkirakan hutan di Sumatera akan hilang dalam waktu lima tahun,
hutan di Kalimantan akan hilang dalam 10 tahun dan hutan Papua akan
menyusul dalam kurun waktu 15 tahun. Bagaimana bisa kita mau melepas
predikat sebagai Negara dengan Degradasi Hutan Tercepat, jika kaum
mudanya tidak mau mendukung perubahan.
Usulkan
penghentian penggunaan styrofoam di kantin sekolah. Jika bisa makan di
tempat tanpa harus dibawa, lakukan! Bisa juga dengan mengajak
teman-teman untuk tidak jajan di tempat yang masih menggunakan
styrofoam. Sekedar memberitahu dan menghimbau tidak cukup untuk
menyadarkan si penjual kantin. Dengan menekan jumlah pembeli ke tempat
tersebut, bisa mendorong si penjual agar menghentikan penggunaan
styrofoam.
Satu hal sederhana lainnya adalah
membudayakan ‘puasa tisu’ di antara teman-teman. Tahukah mereka bahwa
satu pohon digunakan untuk pembuatan sehelai tisu. Saat pilek dengan
tenangnya kita menghamburkan satu pak tisu, sehelai tiap 5 menit, maka
penyakit pilek dan keacuhan pada lingkungan telah mengorbankan puluhan
pohon tiap harinya. Seperti ‘butterfly effect’, suatu hal kecil yang
remeh ternyata mampu menyebabkan bencana hebat. Gunakan saputangan
untuk kegiatan sehari-hari, seperti menyeka keringat. Memakai
saputangan jauh lebih hemat dan praktis, tidak harus dibeli dan dibuang
setiap saat layaknya tisu yang sekali pakai. Satu kelas untuk satu
gerakan puasa tisu, membantu menyelamatkan hutan kita.
Ternyata perilaku sehari-hari di sekolah yang dianggap biasa telah berperan banyak dalam proses degradasi hutan Indonesia dan berujung pada masalah pemanasan global. Tidak cukup hanya membaca artikel mengenai pemanasan global untuk menunjukkan kepedulian kita terhadap lingkungan. Learn, Share and Act! Itulah yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan. Setelah paham akan sesuatu, bagi pengetahuan itu dengan menyadarkan orang sekitar kita, lalu ajak mereka untuk mewujudkan kebaikan. Mulailah dari sekolah, mulailah dari tempat-tempat sekitar, berujung pada dunia. dan yang terpenting bisakah dimulai dari diri anda. Ya anda! |
Rabu, 15 Februari 2012
Pemanasan Global dan nasib Kita?
02.45
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar