Rabu, 15 Februari 2012

Pemanasan Global dan nasib Kita?


Andaikan saja Edison tidak mau menyumbangkan ilmunya dalam penemuan lampu, dunia akan gelap gulita. Andai saja Newton tidak mau ambil pusing menyelidiki teori gravitasi, mungkin kita masih mengira apel jatuh dari pohon adalah pengaruh sihir bumi.
Selama ini orang awam menilai gerakan mencegah pemanasan global sekedar penanaman pohon, atau menyerahkan masalah itu pada orang yang berwenang seperti LSM yang menngani masalah Lingkungan atau Pemerintah. Padahal pemanasan global bukan masalah wewenang, melainkan tanggung jawab bersama. Dari anak-anak hingga dewasa semua punya tanggung jawab sama besar. Kita sebagai remaja/anak-anak bertanggung jawab meneruskannya, dan orang dewasa bertanggung jawab menjaganya.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai remaja untuk melaksanakan tanggung jawab itu? Lihatlah masalah ini dari tempat yang selalu kita kunjungi setiap hari, yaitu sekolah. Kegiatan-kegiatan di sekolah sebenarnya turut mendukung parahnya pemanasan global. Sekarang, coba hitung berapa kertas yang dipakai ketika ulangan. Kertas yang digunakan sebagai lembar jawaban, dan kertas untuk soal yang bisa berlembar-lembar. Jumlahnya bisa mencapai ratusan dalam sehari, apalagi ketika pekan ulangan semester. Penggunaan kertas untuk murid sekolah yang jumlahnya ratusan, 5 hari dalam seminggu, bisa digunakan untuk menutupi lapangan satu sekolah. Lalu kemana kertas-kertas itu pergi setelah digunakan? Tentunya kian menambah tinggi tumpukan gunung sampah di TPA.
Penulis turut prihatin dengan penghambur-hamburan kertas tiap tahunnya di seluruh nusantara, yaitu ketika Ujian Nasional berlangsung. Sampah kertas yang dihasilkan ribuan kali lipat lebih banyak daripada kertas yang digunakan untuk ujian semester di satu sekolah. Berapa pohon yang ditebang untuk kertas-kertas tersebut?
Tidak hanya di kelas, kantin sekolah pun turut menyumbang efek pemanasan global. Pengamatan penulis di sekolah melihat makanan siap saji yang masih menggunakan pembungkus styrofoam, serta pemakaian sumpit untuk makan mie. Styrofoam selain tidak dapat didaur ulang, juga berbahaya bagi kesehatan.
Dampak residu stereofoam dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC) yaitu gangguan pada sistem endokrin dan reproduksi pada manusia karena bahan karsinogenik. Butuh waktu 1.000 tahun sampai styrofoam terurai secara alami. Seperti yang diterangkan Ir. Bibong Wwidyarti di kompas.com (9/3/08) kalaupun styrofoam dihancurkan, itu membutuhkan teknologi tinggi dan mahal dan menghasilkan gas yang beracun. Selain itu sumpit terbuat dari kayu yang tentu saja mengorbankan pepohonan dalam pembuatannya.
Mulai Gerakan Hijau di Sekolah
Kita bisa memulai gerakan hijau dari hal mudah dan sederhana. Misalnya mengusulkan kepada sekolah agar kertas-kertas ulangan yang terbuang didaur ulang lagi untuk kertas soal ulangan selanjutnya. Membentuk gerakan dengan teman-teman sekelas dengan memilah sampah-sampah kertas di sekolah lalu mengolahnya kembali. Kertas itu dapat kita jual dengan harga murah ke koperasi sekolah. Pastinya sekolah kita tidak keberatan dengan hal ini. Selain menunjukkan sikap kritis pada lingkungan, kita turut memudahkan sekolah dalam penyediaan kertas yang lebih murah. Jadi tidak memerlukan kertas baru lagi untuk mencetak soal-soal ulangan.
Kebiasaan lain yang harus diterapkan adalah membiasakan diri untuk tidak memfotokopi catatan. Di kelas si penulis, teman-teman tidak pernah mau repot mencatat setiap kali guru memberikan kertas catatan, mereka menuntut agar salah satu siswa pergi ke tempat fotokopi untuk memperbanyak catatan bagi setiap siswa. Sekali lagi, perilaku yang menghamburkan kertas! Jika ditegur agar tidak senantiasa memfotokopi, mereka menggunakan dalih “Cape, pegel, nulis melulu!”.  Kemalasan itu akhirnya membuahkan masalah bagi penebangan pohon yang tidak terkendali.
WALHI memperkirakan hutan di Sumatera akan hilang dalam waktu lima tahun, hutan di Kalimantan akan hilang dalam 10 tahun dan hutan Papua akan menyusul dalam kurun waktu 15 tahun. Bagaimana bisa kita mau melepas predikat sebagai Negara dengan Degradasi Hutan Tercepat, jika kaum mudanya tidak mau mendukung perubahan.
Usulkan penghentian penggunaan styrofoam di kantin sekolah. Jika bisa makan di tempat tanpa harus dibawa, lakukan! Bisa juga dengan mengajak teman-teman untuk tidak jajan di tempat yang masih menggunakan styrofoam. Sekedar memberitahu dan menghimbau tidak cukup untuk menyadarkan si penjual kantin. Dengan menekan jumlah pembeli ke tempat tersebut, bisa mendorong si penjual agar menghentikan penggunaan styrofoam.
Satu hal sederhana lainnya adalah membudayakan ‘puasa tisu’ di antara teman-teman. Tahukah mereka bahwa satu pohon digunakan untuk pembuatan sehelai tisu. Saat pilek dengan tenangnya kita menghamburkan satu pak tisu, sehelai tiap 5 menit, maka penyakit pilek dan keacuhan pada lingkungan telah mengorbankan puluhan pohon tiap harinya. Seperti ‘butterfly effect’, suatu hal kecil yang remeh ternyata mampu menyebabkan bencana hebat. Gunakan saputangan untuk kegiatan sehari-hari, seperti menyeka keringat. Memakai saputangan jauh lebih hemat dan praktis, tidak harus dibeli dan dibuang setiap saat layaknya tisu yang sekali pakai. Satu kelas untuk satu gerakan puasa tisu, membantu menyelamatkan hutan kita.
   
Ternyata perilaku sehari-hari di sekolah yang dianggap biasa telah berperan banyak dalam proses degradasi hutan Indonesia dan berujung pada masalah pemanasan global. Tidak cukup hanya membaca artikel mengenai pemanasan global untuk menunjukkan kepedulian kita terhadap lingkungan. Learn, Share and Act! Itulah yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan. Setelah paham akan sesuatu, bagi pengetahuan itu dengan menyadarkan orang sekitar kita, lalu ajak mereka untuk mewujudkan kebaikan. Mulailah dari sekolah, mulailah dari tempat-tempat sekitar, berujung pada dunia. dan yang terpenting bisakah dimulai dari diri anda. Ya anda!

0 komentar:

Posting Komentar